Wednesday, May 30, 2012

Tuhan dan Sains Modern (Part 9): Multijagad Tingkat 4: Struktur Matematis

Berikut adalah bagian kesepuluh dari sebuah makalah panjang yang ditulis seorang teman untuk bahan diskusi lintas disiplin dengan tema Tuhan dan masa modern. Bagian ini membahas alam semesta versi matematika

Fakta bahwa kita mampu mencerap ruang dan memahami bentuk-bentuk geometri memunculkan sejarah mengenai bagaimana manusia merasakan bentuk jagad raya. Pada awalnya, manusia memandang kalau Bumi kita datar. Baru kemudian para pemikir Yunani, salah satunya Erastothenes, membuktikan kalau Bumi berbentuk bulat.

Sejak zaman Euklid hingga seabad lalu, ada pemahaman kalau jagad raya kita berbentuk ruang Euklid berdimensi tiga. Penemuan-penemuan fisika klasik dirumuskan dalam ruang dimensi tiga seperti medan listrik dan medan magnet. Gagasan ini berubah drastis ketika Einstein mengajukan teori relativitasnya. Jagad raya kita tidak lagi dipandang ruang berdimensi tiga tetapi ruang berdimensi empat (dengan menjadikan waktu sebagai satu dimensi baru). Struktur matematis yang mewakilinya sekarang adalah manifold pseudo-Riemann berdimensi 3+1 dengan medan tensor. Konsekuensinya fatalistik, alam semesta dalam ruang maupun waktu telah ditentukan. Masa depan telah ada, hanya kita belum merasakannya. Tetapi, gagasan inipun digugurkan dalam waktu singkat dalam perkembangan mekanika kuantum. Perilaku atom yang membingungkan membawa pada konsepsi struktur jagad raya baru yang disebut aljabar medan bernilai-operator. Lagi-lagi, struktur jagad raya semacam ini ditentang oleh perkembangan teori penguapan lubang hitam yang digagas oleh Hawking (Tegmark, 2007). Hingga sekarang, para ilmuan masih mencari-cari bentuk matematis sesungguhnya dari jagad raya kita. Perkembangan ini sejalan pula dengan perkembangan untuk mencari teori segalanya (Theory of Everything).

Pelajaran yang dapat diambil dari perkembangan sejarah sains di atas cukup ironis: sains semakin menggerus eksistensialisme hingga tak berbekas. Dalam ruang dimensi tiga fisika klasik, individu terdefinisi dengan baik. Masing-masing kita adalah individu yang unik, punya koordinat dalam ruang yang jelas. Dalam manifold pseudo-Riemann eksistensi ini diragukan. Kita tak lagi sebuah bintik padat tetapi hanya sebuah garis dunia yang tergores dalam sumbu ruang-waktu. Sebuah garis bukanlah sesuatu yang unik. Ambil selembar kertas, ada tak terhitung garis dapat anda tarik di kertas tersebut. Pembatas antar garis tidak ada karena jika ada, maka kita dapat membuat garis baru di antara kedua garis tersebut. Hal ini dapat dilakukan ad infinitum. Itu mengapa saya menyebutnya menggerus habis eksistensialisme. Dan eksistensialisme yang telah tergerus tersebut akhirnya tertiup angin dan lenyap ketika fisika kuantum bicara tentang multijagad tingkat 3. Setiap garis ini hanyalah satu dari tak terhingga garis eksistensi diri kita. Bagaimana anda bisa bicara inilah saya ketika ada tak terhingga anda yang seratus persen sama dalam jagad raya tak terbatas?

Perkembangan sains di atas menunjukkan kalau pemahaman kita tentang jagad raya semakin abstrak. Bukan abstrak seperti kata-kata sastra tentang perasaan, tetapi abstrak dalam artian begitu ketatnya, sebuah matematika. Hal ini sangat deterministik dan membangkitkan roh Pitagoras yang tidur di masa Yunani Kuno. Dahulu ketika para filsuf bicara alam tersusun dari unsur air, api, udara, dan tanah, Pitagoras malah mengatakan kalau alam tersusun dari unsur matematis yaitu bilangan-bilangan. Di masa kini, sains bicara pula kalau alam tersusun dari hukum-hukum matematis. Efektivitas matematika dalam fisika sedemikian terangnya sehingga bermunculan teknologi yang luar biasa presisi, misalnya komputer yang ada di depan anda. Perhatikan gambar 9. Rumus tersebut adalah persamaan medan Einstein yang mendeskripsikan jagad raya kita di masa Einstein. Abstraksi alam semesta ke dalam matematika merupakan sebuah kecenderungan yang merupakan konsekuensi logis dari efektivitas matematika dalam fisika. Lebih jauh, ini membawa pada Wheeler dan Hawking (1988) yang bertanya: mengapa harus persamaan ini, bukannya persamaan yang lain? Mengapa alam semesta kita diatur oleh rumus-rumus yang ini bukannya rumus-rumus lain yang mungkin dibuat dan memang bertebaran dalam jurnal-jurnal matematika murni?

 
Gambar 9: Persamaan Medan Einstein

Tegmark (1998) membagi hubungan antara matematika dan fisika dalam dua kategori:
  1. Dunia Fisika sepenuhnya matematis. Ada tiga kemungkinan dalam hal ini yaitu (a) segala yang ada secara matematis juga ada secara fisik, (b) sebagian yang ada secara matematis ada secara fisik, sementara sebagian tidak, dan (c) tidak ada yang ada secara matematis ada secara fisik.
  2. Dunia fisika tidak sepenuhnya matematis.
Sebagian fisikawan tampaknya lebih percaya kalau dunia fisika tidak sepenuhnya matematis, yaitu kategori 2, dan ia menyebut alasan agama termasuk dalam kategori ini. Tuhan diperlukan agar sebagai God of the Gap agar tetap ada kehendak bebas dalam dunia fisika. Kategori ini katanya tidak memberikan kekuatan prediktif penuh dan disingkirkan dari kemungkinan benar. Hal yang sama juga berlaku pada kemungkinan 1.c.

Kemungkinan kalau segala hal yang ada secara matematis tidak seluruhnya ada secara fisika (kategori 1.b) lebih masuk akal. Walau begitu kemungkinan ini dikritik oleh Wheeler (1994), Nozick (1981), dan Weinberg (1992) karena menyisakan pertanyaan seperti yang telah diajukan sebelumnya: mengapa persamaan ini bukan yang lain? Mengapa struktur matematis dengan rasio massa elektron proton 1836 ada sementara rasio 1996 tidak ada? Mengapa manifold 3+1 harus ada sementara 27+5 tidak ada? Penjelasan yang lebih sederhana, dan paling sederhana dari semua kesederhanaan, adalah semuanya ada.

Tegmark (1998) menjadikan pernyataan kalau “ada secara fisika adalah sama dengan ada secara matematis”. Ada secara matematis sendiri adalah “keberadaan yang bebas dari kontradiksi”. Dengan kata lain, apabila sesuatu struktur konsisten secara matematis, maka ia ada di dunia nyata. Eksistensi fisik ini berlaku pada struktur-struktur matematis yang independen dari cara kita menjelaskannya. Hal ini menurutnya tidak jauh beranjak dari multijagad tingkat 3. Pada multijagad tingkat 3, semua keadaan kuantum yang mungkin dipandang ada secara fisik, namun hukum fisika tetap sama. Pada multijagad tingkat 4, semua struktur matematis yang mungkin dipandang ada secara fisik dan hukum fisika yang ada tidak mesti sama.

Eksistensi fisika dari struktur matematis ini diturunkan dari beberapa teori gravitasi kuantum. Gravitasi kuantum memungkinkan adanya berbagai metrik dan topologi ruang waktu yang berbeda (Hawking, 1984; Isham, 1989). Dari sekian banyak topologi dan metrik ruang waktu ini, tidaklah beralasan kalau alam semesta kita hanya memiliki satu tipe topologi dan satu tipe metrik. Topologi dan metrik lain konsisten dan memungkinkan hukum fisika, walaupun berbeda dengan hukum fisika yang kita rasakan di alam semesta kita. Hal ini juga didukung oleh keberadaan fisik tetapan fisika yang berbeda dan keberadaan fisik dimensi ruang waktu yang berbeda sebagai mana dalam multijagad tingkat 2 berbasis pada teori inflasi (Linde dan Zelnikov, 1988), teori big bang (Wheeler, 1977), teori lubang cacing  (Coleman, 1988), dan teori superstring (Albrecht, 1994). Nielsen (1983), Froggatt dan Nielsen (1991), dan Nielsen, Rugh, dan Surlykke (1994) bahkan telah membuat program komputer yang mensimulasikan dunia-dunia yang diatur oleh persamaan-persamaan matematika yang berbeda.

Teori segalanya yang digagas Tegmark (1998) yang berbasis pada asumsi segala yang konsisten secara matematis pasti ada di dunia nyata mengembalikan makna probabilitas ke makna awalnya. Seperti yang telah diilustrasikan sebelumnya dalam kemungkinan kartu di tangan anda, maka segala yang mungkin (probabilitas tidak nol) adalah pasti, tentunya dengan ruang kemungkinan yang tak terbatas. Dengan kata lain, multijagad adalah ruang sampel bagi probabilitas apapun.

Penrose (1989) memberikan contoh eksistensi matematis yang mewujud menjadi eksistensi fisik lewat pembuatan android (robot yang direkayasa sedemikian hingga fisiknya menyerupai manusia) yang memiliki kesadaran diri. Eksistensi diri yang dirasakan sang robot adalah murni matematis dari sudut pandang program yang dibuat manusia penciptanya. Tetapi sang pembuat maupun sang robot melihat bahwa eksistensi tersebut juga berupa eksistensi fisik.

Tegmark (1998) memberikan dukungan atas teorinya dengan memberikan kecenderungan lain dalam sejarah fisika. Eddington (1920) menyebutkan kalau orang dahulu mengatakan bahwa kapanpun ada cahaya, maka ada gelombang dalam medan elektromagnetik. Fisika modern menunjukkan kalau cahaya itu sendiri adalah gelombang dalam medan elektromagnet. Orang dahulu mengatakan kalau kapanpun ada materi, ada gelombang dalam kelengkungan ruang waktu. Fisika modern mengatakan kalau materi itu sendiri adalah gelombang dalam kelengkungan ruang waktu. Orang dahulu menyatakan kalau kapanpun ada eksistensi fisika, ada struktur matematika yang menopangnya. Tegmark (1998) mengatakan kalau eksistensi fisika itu sendiri adalah struktur matematika.

Apabila ada sebuah struktur matematika yang konsisten, maka ada sebuah eksistensi fisika dari struktur matematika tersebut. Dalam eksistensi fisika ini, kemungkinan kalau ada mahluk cerdas (yang disebut sebagai SAS (Self-Aware Substructures) oleh Tegmark) maka ia dapat bertanya mengapa alam yang ia tinggali diatur oleh persamaan ini bukan yang lain. Pada dunia yang lebih tinggi, multijagad tingkat 4, semua persamaan yang mungkin memiliki dunia tersendiri yang diaturnya (ruang waktu Malament-Hogarth misalnya (Piccinini, 2011)).

Agar struktur matematis dapat eksis dalam realitas, ia harus konsisten dalam dirinya. Konsistensi sendiri tidak menjamin eksistensi SAS (misalnya kita atau program komputer). Sebuah struktur matematis memerlukan tiga syarat lagi untuk dapat memiliki SAS yaitu kompleksitas, prediktabilitas, dan stabilitas. Sebuah struktur matematis yang konsisten namun tidak cukup kompleks, tidak terprediksi, atau tidak stabil, tidak dapat memungkinkan keberadaan SAS. Prediktabilitas dan stabilitas telah disebutkan dalam deskripsi mengenai multijagad level 2. Mengenai kompleksitas, yang dimaksud disini adalah kompleksitas dari struktur matematis, bukan dari dunia yang dihasilkannya. Kompleksitas sebuah struktur matematis ditentukan oleh aksiomanya.

Aksioma adalah sebuah pernyataan yang dipandang benar dengan sendirinya tanpa bukti. Ia berbeda dengan konjektur atau hipotesis yang menunjukkan sesuatu yang terlihat benar namun bukan merupakan pernyataan yang benar dengan sendirinya. Ada banyak sekali aksioma yang menyusun matematika. Aksioma pilihan misalnya mengatakan kalau ada satu himpunan yang anggotanya himpunan tak kosong, maka ada setidaknya satu himpunan yang mengandung tepat satu anggota yang merupakan anggota bersama dari semua himpunan tak kosong tersebut (Moore, 1982). Hal ini tidak perlu dibuktikan karena secara intuitif kita pasti tahu kalau pernyataan ini benar.

Setiap struktur matematika mengandung setidaknya satu aksioma sebagai landasan ia ditarik. Struktur matematika paling sederhana adalah aljabar Boolean yang berada di bagian paling bawah Gambar 10 sebelum sistem formal. Sistem formal sendiri adalah kumpulan dari simbol dan aturan untuk membentuk aksioma, dan aturan untuk membentuk teorema (turunan dari aksioma). Aljabar Boolean terdiri dari empat aksioma, kalkulus predikat rendah terdiri dari enam aksioma (empat berasal dari aljabar Boolean), dan teori bilangan terdiri dari tujuh aksioma. Semakin banyak aksioma semakin kompleks sebuah sistem matematika. Walau begitu, jumlah aksioma tidak dapat terlalu banyak. Jika aksioma dalam suatu sistem matematika terlalu banyak, maka sistem tersebut runtuh diri karena menjadi tidak konsisten. Hal ini karena semakin banyak aksioma, maka semakin besar kemungkinan muncul kontradiksi antar aksioma itu sendiri. Sebuah struktur matematika yang cukup kompleks dengan aksioma yang tidak terlalu banyak adalah struktur matematika yang dapat mengandung SAS.
Gambar 10: Peta Matematika berdasarkan Aksioma
penyusunnya. Peta ini dapat diperluas ke atas tak terbatas
seiring berkembangnya ilmu matematika murni (Tegmark, 1998)

Multijagad tingkat 4 memiliki banyak kemungkinan yang lebih eksotis. Segala yang mungkin konsisten, misalnya hal-hal yang digambarkan dalam film sains fiksi, dapat ada. Mengenai kompleksitas seperti apa yang mengandung SAS, setidaknya kita punya gambaran dari sejarah sains yang telah dibeberkan di awal. Kita pernah merasa kita mampu hidup dalam ruang dimensi 3 (kotak Rn dalam Gambar 10 untuk n=3). Lalu kita juga pernah merasa mampu hidup dalam ruang manifold 3+1 dengan medan tensor (bagian atas dibawah Relativitas Umum). Terakhir kita juga merasa mampu berada dalam dunia aljabar medan (kotak teori medan kuantum yang ada di pojok kanan atas). SAS lain mungkin ada di dunia dengan struktur matematis himpunan Mandelbrot, oktahedron, busa Menger, bola, torus, jagad datar, jagad terbuka, ruang simpul dan sebagainya. Intinya, pada multijagad tingkat 4, segala struktur matematika yang konsisten memiliki dunianya sendiri-sendiri.
 
Dengan adanya multijagad tingkat 4, sempurnalah prinsip kesederhanaan. Tidak ada yang lebih sederhana dari segalanya mungkin. Segala yang bisa ada maka ada, itulah multijagad sempurna. Jadi, dimana Tuhan?
Lanjut Part 10

Referensi:
Albrecht, A, 1994. The Theory of Everything vs the Theory of Anything. in The Birth of the Universe and Fundamental Forces, ed. F. Occionero. Berlin: Springer, Berlin
Coleman, S. 1988. Why there is nothing rather than something: A theory of the cosmological constant. Nuclear Physics B, 307, 867
Eddington, A. 1920. Space, Time, and Gravitation. Cambridge: Cambridge University Press.
Froggatt, C.D., Nielsen, H.B. 1991. Origin of Symmetries. Singapore: World Scientific.
Hawking, S.W. 1984. The Quantum State of the Universe. Nuclear Physics B, 244, 135
Hawking, S.W. 1988, A Brief History of Time, New York: Bantam Books
Isham, C.J. 1989. Quantum topology and quantisation on the lattice of topologies . Classical and Quantum Gravity, 6, 1509
Linde, A.D., & M. I. Zelnikov, 1988. Inflationary Universe with Fluctuating Dimension. Physics Letter B, 215, 59
Moore, G. H. 1982. Zermelo’s Axiom of Choice: Its Origin, Development, and Influence. New York: Springer-Verlag
Nielsen, H.B. 1983. Field theories without fundamental gauge symmetries. Phil. Trans. Royal Soc. London, A310, 261
Nielsen, H.B., S. E. Rugh & C. Surlykke, 1994. Seeking Inspiration from the Standard Model in Order to Go Beyond it. hep-th/9407012
Nozick, R. 1981. Philosophical Explanations. Cambridge: Harvard University Press.
Penrose, R. 1989. The Emperor’s New Mind. New York: Touchstone
Piccinini, G. 2011. The Physical Church-Turing Thesis: Modest or Bold. British Journal for the Philosophy of Science.
Tegmark, M. 1998. Is “The Theory of Everything” Merely the Ultimate Ensemble Theory? Annals of Physics, 270, 1-51
Tegmark, M. 2007. The Mathematical Universe. arXiv 0704.0646 [gr-qc], Foundations of Physics
Weinberg, S. 1992. Dreams of a Final Theory. New York : Pantheon.
Wheeler, J.A. 1994. At Home in the Universe. New York: AIP

Sumber: FaktaIlmiah.com

No comments:

Post a Comment